Pemikiran Raden Ajeng Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi  harapannya untuk memperoleh  pertolongan dari luar. Pada perkenalan  dengan Estelle "Stella"  Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan  untuk menjadi seperti kaum  muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan  perempuan Jawa akibat  kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di  bangku sekolah, harus  dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak  dikenal, dan harus  bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang  diungkapkan Kartini dalam  surat-suratnya adalah kritik terhadap  agamanya. Ia mempertanyakan  mengapa kitab suci harus dilafalkan dan  dihafalkan tanpa diwajibkan  untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang  pandangan bahwa dunia akan  lebih damai jika tidak ada agama yang sering  menjadi alasan manusia  untuk berselisih, terpisah, dan saling  menyakiti. "...Agama harus  menjaga kita daripada berbuat dosa,  tetapi berapa banyaknya dosa  diperbuat orang atas nama agama itu..."  Kartini mempertanyakan  tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi  kaum laki-laki untuk  berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah  penderitaan perempuan Jawa yang  dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini  banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang  harus dihadapi ketika  bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih  maju. Meski memiliki  seorang ayah yang tergolong maju karena telah  menyekolahkan anak-anak  perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun,  tetap saja pintu untuk  ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang  ayah, namun ternyata  cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada  akhirnya menjadi  kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah  dalam surat juga  diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan  akhirnya  mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi,   meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke   Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini  untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang  terungkap dalam  surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan  berupaya  mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini   membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya   kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar   ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati   oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan  adiknya  Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia  sekitar 24 tahun, niat untuk  melanjutkan studi menjadi guru di Betawi  pun pupus. Dalam sebuah surat  kepada Nyonya Abendanon, Kartini  mengungkap tidak berniat lagi karena ia  sudah akan menikah. "...Singkat  dan pendek saja, bahwa saya tiada  hendak mempergunakan kesempatan itu  lagi, karena saya sudah akan  kawin..." Padahal saat itu pihak  departemen pengajaran Belanda sudah  membuka pintu kesempatan bagi  Kartini dan Rukmini untuk belajar di  Betawi.
Saat menjelang  pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini  soal adat Jawa. Ia  menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan  membawa keuntungan  tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan  sekolah bagi para  perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya,  Kartini menyebutkan  bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya  untuk  mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra   saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Buku Habis Gelap Terbitlah Terang
- Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
 
 - Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
 - Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini.
 - Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
 














